
Kalau lo suka nonton Serie A atau ngikutin Liga Spanyol di era 2010-an awal, lo pasti pernah lihat sosok bek jangkung yang mainnya kalem tapi fisiknya kayak pohon besar di tengah pertahanan. Yup, itu dia Federico Fazio.
Pemain yang satu ini bukan tipe bek yang viral di media sosial. Gak banyak highlight tekel keras atau selebrasi heboh. Tapi satu hal yang pasti, Fazio tahu caranya bikin penyerang frustrasi. Dia tenang, kuat, dan jago banget positioning. Walaupun bukan bek tercepat, dia cerdas banget soal baca permainan.
Mau tahu kenapa karier Fazio itu underrated tapi tahan lama? Gas terus bacanya.
Awal Mula: Argentina, Liga Kecil, dan Lompatan ke Spanyol
Federico Julián Fazio lahir pada 17 Maret 1987 di Buenos Aires, Argentina. Dia besar di kota kecil tapi punya cita-cita besar. Mulai kariernya di Ferro Carril Oeste, klub divisi dua Argentina yang jauh dari gemerlap media.
Tapi meskipun dia gak tumbuh di akademi elite kayak Boca atau River Plate, Fazio cepat dilirik karena satu hal: postur dan ketenangannya saat pegang bola. Di usia 20 tahun, dia udah punya tubuh hampir 2 meter dan keliatan banget punya potensi jadi bek tengah masa depan.
Pada tahun 2007, dia dapet tawaran dari Spanyol dan langsung hijrah ke Sevilla. Waktu itu, Sevilla lagi bangkit-bangkitnya setelah sukses di Eropa. Tapi siapa sangka, dari transfer yang gak terlalu disorot, Fazio bakal bertahan hampir 8 tahun di sana.
Sevilla: Tempat Jadi Besar dan Tempat Belajar Jadi Bek Eropa
Di Sevilla, Fazio gak langsung masuk tim utama. Tapi pelan-pelan dia naik level. Main bareng pemain senior, dia belajar soal tempo main Eropa, cara bertahan yang lebih taktis, dan gimana ngontrol ruang, bukan cuma ngejar bola.
Fazio bisa dibilang tumbuh jadi bek ideal buat sistem La Liga: kuat duel, jago bola udara, dan tahu kapan harus step up. Dia juga punya kemampuan teknis yang lumayan oke untuk seorang bek tengah—passing pendek aman, dan sesekali berani long ball.
Puncaknya? Tahun 2013–14, saat Fazio jadi kapten Sevilla dan bantu mereka juara Liga Europa. Dia main di final lawan Benfica, dan meskipun menang lewat adu penalti, Fazio tampil solid sepanjang turnamen.
Setelah itu, beberapa klub besar mulai ngelirik dia. Dan akhirnya, datanglah tawaran dari Inggris.
Tottenham Hotspur: Ekspektasi Besar, Realita Gak Sesuai Harapan
Tahun 2014, Fazio pindah ke Tottenham Hotspur. Fans Spurs waktu itu berharap banyak. Mereka butuh bek solid buat dampingi Jan Vertonghen, dan Fazio punya track record bagus dari Spanyol.
Tapi realitanya? Premier League bukan habitatnya. Di Inggris, tempo main jauh lebih cepat, striker lebih direct, dan Fazio kesulitan adaptasi. Dia sering kalah lari, kena kartu, atau salah posisi karena kurang cocok dengan sistem defensif Spurs yang tinggi dan agresif.
Selama dua musim, dia cuma tampil 20 kali lebih di Premier League. Gak jelek banget, tapi jauh dari ekspektasi. Akhirnya, dia balik ke Spanyol sebentar—dipinjamkan lagi ke Sevilla—dan setelah itu pindah ke tempat yang bakal jadi “rumah” barunya: AS Roma.
AS Roma: Comeback dan Jadi Bek Tengah Andal Lagi
Tahun 2016, AS Roma pinjam Fazio dari Spurs. Banyak yang skeptis, tapi justru di sinilah Fazio nemuin lagi bentuk terbaiknya. Di Serie A, tempo lebih lambat dari Premier League dan permainan lebih taktis—ini cocok banget buat gaya main dia.
Fazio langsung nyetel di pertahanan Roma. Pelatih saat itu, Luciano Spalletti, tahu gimana maksimalkan bek jangkung dengan kemampuan positioning bagus. Fazio bukan cuma bertahan, tapi juga sering bantu build-up.
Setelah satu musim, Roma permanenin dia. Dan dari 2016 sampai 2021, Fazio tampil lebih dari 150 kali buat klub ibu kota Italia itu. Dia sempat bantu tim bersaing di papan atas dan tampil di Liga Champions, termasuk laga epik lawan Barcelona di musim comeback 3-0 (walau dia gak main di leg kedua, dia bagian dari skuad).
Gaya Bermain: Bek Gede yang Main Pakai Otak
Fazio punya tinggi hampir 195 cm, dan itu bikin dia otomatis unggul di duel udara. Tapi kekuatan utama dia bukan cuma fisik, tapi ketenangan dan positioning. Dia tipe bek yang gak panik, tahu kapan harus turun, kapan harus jepit striker, dan jarang bikin pelanggaran konyol.
Dia juga bagus dalam intersep dan baca arah serangan. Walau kecepatannya gak tinggi, dia nutup kekurangannya dengan pengalaman dan kecerdikan.
Gak heran, banyak pelatih suka pakai dia kalau tim butuh stabilitas di belakang. Apalagi di Serie A yang lebih menuntut otak ketimbang otot.
Timnas Argentina: Singkat Tapi Tetap Berarti
Fazio sempat masuk skuad timnas Argentina, tapi gak pernah benar-benar jadi pilihan utama. Maklum, di era dia aktif, Argentina punya stok bek tengah yang cukup banyak—Otamendi, Garay, Demichelis, sampai Mascherano yang ditarik jadi bek.
Tapi dia tetap tampil di beberapa laga penting, termasuk jadi bagian dari skuad Piala Dunia 2018. Dia main di laga lawan Prancis (babak 16 besar), meskipun Argentina kalah dramatis 4-3.
Meski gak punya caps banyak, Fazio tetap bangga pernah pake jersey Albiceleste. Dan buat pemain yang awalnya cuma main di divisi bawah Argentina, itu pencapaian besar.
Masa Akhir Karier dan Pindah ke Salernitana
Setelah masa di Roma berakhir, Fazio gabung ke Salernitana, klub Serie A yang waktu itu baru promosi dan butuh pemain berpengalaman buat bantu bertahan dari degradasi.
Fazio langsung jadi pemimpin di belakang. Dia bawa pengalaman, dan meskipun usia udah di atas 30, dia tetap tampil konsisten. Salernitana pun berhasil selamat dari degradasi di musim yang dramatis.
Fazio buktiin bahwa dia masih punya value, bukan cuma karena nama besar masa lalu, tapi karena kualitas yang tetap terjaga.
Life Outside the Pitch: Lowkey, Family-Oriented, dan No Drama
Federico Fazio bukan tipikal pemain yang sering muncul di media. Dia low profile, gak pernah terlibat drama, dan lebih banyak fokus ke permainan dan keluarga.
Media sosialnya pun mostly soal sepak bola dan kehidupan pribadi yang sederhana. Lo gak bakal lihat dia bikin kontroversi atau pamer-pamer gaya hidup. Dan itu makin bikin fans respek.
Legacy: Bukan Bintang, Tapi Tahan Lama dan Penuh Arti
Fazio mungkin gak pernah jadi bek top dunia versi majalah atau fans Instagram. Tapi dia tipe pemain yang diandalkan pelatih, dihormati rekan setim, dan bikin pertahanan lebih tenang.
Dari Ferro ke Sevilla, sempat gagal di Spurs, lalu bangkit di Roma dan lanjut di Salernitana—karier Fazio adalah bukti bahwa konsistensi dan profesionalisme itu kadang lebih penting dari sekadar popularitas.
Dan di era sepak bola yang makin keras di luar lapangan, Fazio adalah contoh ideal pemain yang gak neko-neko, kerja keras, dan selalu kasih 100% tiap kali dipanggil main.
Penutup: Federico Fazio Adalah Definisi Bek Tengah Old-School Tapi Tetap Relevan
Tinggi, kalem, dan paham banget gimana cara jaga pertahanan. Federico Fazio adalah contoh bek tengah klasik yang masih bisa bersaing di era modern. Dia buktiin bahwa lo gak perlu viral, gak perlu skill glamor, yang penting lo tahu peran lo, dan lo lakuin itu dengan konsisten.
Dunia bola butuh pemain kayak Fazio. Dan meski kariernya gak selalu di puncak, dia ninggalin jejak yang kuat—buat fans, buat klub, dan buat siapa pun yang ngerti arti jadi bek sejati.
Respect, Fazio.